Kementerian LHK Bahas Langkah Tindak Lanjut Ratifikasi Konvensi Minamata

0
002

 Setelah ratifikasi Konvensi Minamata Mengenai Merkuri melalui Undang-Undang Nomor. 11 Tahun 2017, kini Indonesia tengah menyusun langkah-langkah tindak lanjut sebagai implementasi ratifikasi konvensi tersebut. Hal ini disampaikan Menteri Lingkungan Hidup dan Kehutanan (LHK), Siti Nurbaya Bakar, dalam diskusi bersama lintas sektor di Jakarta yang dituangkan ke dalam siaran pers yang diterima Redaksi EL JOHN News, Senin, 9 Oktober 2017.

Sebelumnya pada Rapat Terbatas tanggal 9 Maret 2017, Presiden RI Joko Widodo telah memberikan beberapa arahan terkait penghapusan penggunaan merkuri, dan penertiban pertambangan ilegal di Indonesia. “Presiden meminta agar kebijakan dan peraturan perundangan terkait hal ini, termasuk revisi Peraturan Pemerintah Nomor, 74 tahun 2001 tentang Pengelolaan Bahan Beracun Berbahaya (B3)”, tegas Menteri Siti.

Arahan Presiden RI tersebut, merupakan tindaklanjut dari penutupan tambang emas tanpa izin di Gunung Botak, Pulau Buru, pada tanggal 17 Februari 2017. Selain itu, Presiden Joko Widodo juga meminta agar ada solusi, atau alternatif mata pencaharian bagi para penambang, serta masyarakat yang terpapar merkuri dapat diberikan bantuan medis.

Sementara itu, Plt. Direktur Jenderal Pengelolaan Sampah, Limbah, dan B3 (PSLB3), M.R. Karliansyah, menyampaikan beberapa hal untuk menindaklanjuti hasil COP-1 Konvensi Minamata, yaitu sebagai berikut:

1.    Finalisasi revisi Peraturan Pemerintah Nomor. 74 Tahun 2001 tentang Pengelolaan B3, sebagai landasan operasional dalam pengendalian peredaran dan penggunaan merkuri, serta pengusulan revisi Peraturan Pemerintah Nomor. 82 Tahun 2001 tentang Pengendalian Pencemaran Air dan Pengelolaan Kualitas Air;

2.    Pemutakhiran data dalam rangka penyusunan baseline untuk penyempurnaan rencana penerapan nasional pengurangan dan penghapusan merkuri di indonesia (National Implementation Plan – NIP) untuk seluruh sektor (PESK, energi, industri, kesehatan);

3.    Penyiapan standar emisi dan lepasan merkuri untuk termal power plant, industri boiler, coal power plant, waste incinerator, sedimen;

4.    Pembatasan/penghapusan merkuri dan senyawa merkuri pada industri baterai, lampu, switch and relays;

5.    Penghapusan penggunaan alat kesehatan bermerkuri;

6.    Pembatasan dan pelarangan ekspor, impor dan peredaran merkuri;

7.    Penegakan hukum secara terkoordinasi;

8.    Proses formalisasi tambang rakyat sesuai dengan ketentuan yang berlaku;

9.    Proses pemulihan lahan terkontaminasi merkuri dari kegiatan PESK;

10. Mengembangkan alternatif pengalihan mata pencaharian masyarakat;

11. Sosialisasi dampak penggunaan merkuri dan hasil COP-1 Konvensi Minamata kepada seluruh pemangku kepentingan di tingkat pusat dan daerah; dan

12. Proses pembentukan Kelompok Kerja Nasional dan Sekretariat Nasional.

“Saat ini produksi merkuri dalam negeri lebih banyak daripada jumlah yang diimpor oleh Indonesia, dan dampak merkuri sudah sangat nyata terhadap kesehatan manusia”, ujar M. R. Karliansyah khawatir.

 Kekhawatiran ini juga dirasakan oleh Nur Hidayati, Direktur Eksekutif Nasional WALHI. “Dengan adanya kepemimpinan dari Presiden dalam hal ini, agar didukung Kementerian LHK dan menjadi prioritas nasional, melihat kedaruratan dan dampak-dampak yang masih tersembunyi. Oleh karena itu, semua sektor harus berkoordinasi dan bekerjasama”, tuturnya.

 Berdasarkan data UNEP yang disampaikan Dr. William dari Medicus, impor merkuri di Indonesia telah mencapai angka 707 ton/tahun, dimana 90% berasal dari negara Singapura. ‘’Indonesia juga telah menjadi negara pengekspor merkuri ke beberapa negara”, ujarnya.

Leave a Reply

Your email address will not be published. Required fields are marked *