MATAKIN dan IRI Indonesia Luncurkan Buku Perlindungan Hutan Tropis Berbasis Rumah Ibadah Untuk Umat Khonghucu

Sebagai bentuk kepedulian terhadap pelestarian lingkungan hidup, Majelis Tinggi Agama Khonghucu Indonesia (MATAKIN) bekerja sama dengan Interfaith Rainforest Initiative (IRI) Indonesia meluncurkan sebuah buku berjudul “Perlindungan Hutan Tropis Berbasis Rumah Ibadah bagi Umat Khonghucu” dalam dalam dua versi yakni buku panduan dan Kumpulan khotbah. Peluncuran ini diselenggarakan dalam bentuk lokakarya yang digelar secara hybrid dari Yayasan Tepasalira, Penjaringan, Jakarta Utara, pada hari Minggu (3/7/2025).
Kegiatan ini menjadi tonggak penting dalam memperkuat kontribusi komunitas agama, khususnya umat Khonghucu, dalam upaya penyelamatan hutan tropis yang menjadi paru-paru dunia. Buku tersebut berisi panduan praktis serta kumpulan khotbah yang dirancang khusus untuk digunakan dalam kegiatan keagamaan umat Khonghucu, dengan pesan utama tentang pentingnya menjaga kelestarian alam.
Kolaborasi antara MATAKIN dan IRI Indonesia ini bertujuan mendorong partisipasi aktif umat Khonghucu dalam berbagai gerakan penyelamatan hutan, mulai dari tingkat lokal hingga nasional
Wakil Ketua Umum Bidang Pendidikan dan Luar Negeri MATAKIN, Dr. Chandra Setiawan, menjelaskan bahwa keterlibatan MATAKIN dalam penyusunan buku ini didorong oleh keprihatinan terhadap kerusakan hutan yang terus terjadi.
“MATAKIN terpanggil, bersama majelis-majelis agama lain di Indonesia, untuk bersinergi. Kami percaya bahwa kebersamaan lintas iman bisa membawa dampak yang jauh lebih besar dan signifikan dalam mengurangi kehancuran lingkungan di negeri ini,” ujarnya kepada sejumlah awak media.

Lebih lanjut, Chandra menyampaikan bahwa buku ini sudah sejalan dengan ajaran Khonghucu dan dirancang sebagai pedoman praktis bagi para tokoh agama Khonghucu untuk menyampaikan pesan-pesan pelestarian lingkungan melalui kegiatan keagamaan.
“Dengan adanya buku ini, para tokoh agama tidak perlu lagi menyusun materi sendiri. Semua isi sudah sesuai, sudah diperiksa oleh IRI Indonesia, dan bisa dijadikan pegangan yang sah,” tuturnya.
Namun, buku ini tak hanya ditujukan untuk pemuka agama. Ia juga mengandung pesan-pesan yang relevan bagi umat Khonghucu secara umum. “Tujuannya agar umat tidak hanya mengerti, tapi juga terpanggil untuk menjadi pelopor dalam pelestarian lingkungan hidup,” tambah Chandra.
Dalam pandangannya, rumah ibadah memiliki peran strategis dalam gerakan ini. Ia menyebut rumah ibadah sebagai pusat pembelajaran dan mobilisasi umat. “

Karena menjadi tempat berkumpul umat, rumah ibadah sangat efektif untuk menyampaikan pesan lingkungan, sekaligus menggerakkan mereka menjadi sukarelawan yang berbaur dengan masyarakat, mengajak lebih banyak orang untuk ikut terlibat dalam pelestarian hutan,” jelasnya.
Sementara itu, National Facilitator Interfaith Rainforest Initiative (IRI) Indonesia, Hayu Prabowo, menyampaikan keprihatinannya atas kondisi hutan Indonesia akibat meningkatnya deforestasi dalam tiga tahun terakhir.
Menurutnya, beberapa proyek pembangunan yang direncanakan pemerintah justru dikhawatirkan akan memperparah laju deforestasi. Oleh karena itu, Hayu menekankan pentingnya keseimbangan antara kepentingan ekonomi, ekologi, sosial, dan spiritual.
“Kita ingin menyuarakan itu, bagaimana kepentingan ekonomi itu harus seimbang dengan kepentingan ekologi, sosial, dan juga spiritualitas kita sebagai umat beragama,” tambahnya.

Hayu juga menyoroti peran rumah ibadah sebagai pusat pembelajaran dan aksi pelestarian lingkungan, sekaligus memperkuat nilai-nilai ekotheologi dalam kehidupan beragama. Melalui IRI, ia berharap isu lingkungan bisa menjadi pintu masuk dialog antarumat beragama yang lebih terbuka dan membangun.
“IRI memiliki dua fungsi utama: pertama, mendekatkan masing-masing umat beragama pada nilai-nilai ajaran agamanya; dan kedua, mengembangkan program ekotheologi. Menariknya, diskusi antarumat beragama paling mudah dan nyaman dilakukan ketika membahas isu lingkungan hidup, khususnya mengenai kelestarian hutan,” sambungnya.
Pada acara peluncuran ini, digelar dikusi yang menghadirkan narasumber berkompeten dibidangnya seperti Js Sun Vera; Wakil Sekretaris Bidang Kerohanian MATAKIN Ws. Mulyadi dan Wakil Sekjen AMAN Bidang Politk dan Hukum Erasmus Cahyadi.

Diskusi ini diharapkan dapat memperkaya perspektif peserta terkait keterkaitan antara spiritualitas, pelestarian lingkungan, dan hak-hak masyarakat adat. Selain itu, forum ini juga bertujuan mendorong dialog terbuka antara berbagai pemangku kepentingan guna merumuskan langkah konkret dalam mengintegrasikan nilai-nilai keagamaan ke dalam aksi perlindungan hutan tropis.