Menpar Paparkan Tiga Tantangan Yang Dihadapi Pariwisata Nasional di 2018
Menteri Pariwisata (Menpar) Arief Yahya memaparkan tiga tantangan yang dihadapi sektor pariwisata di tahun 2018 mendatang. Paparan itu disampaikan Menpar saat menjadi pembicara kunci dalam acara Indonesia Tourism Outlook 2018 di Hotel Double Tree by Hilton, Jakarta, Rabu. 1 November 2017.
Menpar mengatakan tantangan tersebut yakni yang pertama soal ketahanan lingkungan atau yang disebut dengan enviromental sustainability. Masalah ini pernah menjadi bahan kritikan dunia terhadap pariwisata Indonesia.
“Pengembangan destinasi kita (Indonesia) dikritik dalam hal enviromental sustainability. Kita dianggap tidak peduli dengan kelestarian alam,” kata Menpar.
Menpar meminta semua pemangku kepentingan di sektor pariwisata bahu-membahu untuk menjaga dan melestarikan lingkungan agar destinasi wisata yang dimiliki Indonesia selalu dikenal oleh wisatawan sebagai destinasi yang indah, bersih dan sehat. Selain itu, untuk menyelesaikan masalah enviromental sustainability ini, Menpar berharap untuk mendapatkan masukan benchmarking dari negara lain melalui WTTC dalam mengatasi masalah-masalah environmental sustainability. Kebetulan dalam acara Indonesia Tourism Outlook 2018 hadir Helen Marano, Senior Vice President WTTC,
Tantangan berikutnya yang kedua, yakni tentang digital tourism. Persoalan ini, menurut Menpar jangan dianggap remeh, karena digital tourism memiliki peranan penting dalam mempromosikan pariwisata nasional.
“Kita harus berubah, karena saat ini terjadi 3 revolusi, 3T (Telecommunication, Transportation, Tourism). digital tourism revolution is a natural revolution, we must adapt or die!” sebut Menpar.
Tantangan yang ketiga atau yang terakhir yakni mengenai regulasi pemerintah. Menpar menyebut ada 42.000 regulasi yang menyulitkan pengembangan pariwisata. Agar regulasi tidak menjadi penghambat untuk mengembangkan, Menpar menyarankan perlu dilakukan de-regulasi.
“Yang sudah dilakukan: ease of entering Indonesia; visa free, pencabutan Clearance Approval for Indonesia Territory (CAIT) Policy, pencabutan asas cabotage,” jelasnya.
Lalu, lanjut Arief Yahya, harus dibuat Ease of Doing Business (FDI) yaitu 10 Bali Baru, KEK. “Harus diakui, kalau kita ingin hasil yang luar biasa, harus mengguanakan cara yang tidak biasa!” ujarnya.