Benteng Keraton Buton: Benteng Terluas Di Dunia

0

keraton buton

Benteng Keraton Buton merupakan salah satu objek wisata bersejarah di Bau-bau, Sulawesi Tenggara. Benteng ini merupakan bekas ibukota Kesultanan Buton memiliki bentuk arsitek yang cukup unik, terbuat dari batu kapur/gunung. Benteng yang berbentuk lingkaran ini dengan panjang keliling 2.740 meter. Benteng Keraton Buton mendapat penghargaan dari Museum Rekor Indonesia (MURI) dan Guiness Book Record yang dikeluarkan bulan september 2006 sebagai benteng terluas di dunia dengan luas sekitar 23,375 hektare.

 

Benteng ini memiliki 12 pintu gerbang yang disebut Lawa dan 16 emplasemen meriam yang mereka sebut Baluara. Karena letaknya pada puncak bukit yang cukup tinggi dengan lereng yang cukup terjal memungkinkan tempat ini sebagai tempat pertahanan terbaik di zamannya. Dari tepi benteng yang sampai saat ini masih berdiri kokoh anda dapat menikmati pemandangan kota Bau-Bau dan hilir mudik kapal di selat Buton dengan jelas dari ketinggian,suatu pemandangan yang cukup menakjukkan. Selain itu, di dalam kawasan benteng dapat dijumpai berbagai peninggalan sejarah Kesultanan Buton.

 

Benteng Keraton Buton awalnya dibangun dalam bentuk tumpukan batu yang tersusun mengelilingi komplek istana, tujuannya untuk membuat pagar pembatas antara komplek istana dengan perkampungan masyarakat.Mulai dibangun sejak pemerintahan La Sangaji ke-3 (1591-1597) dan selesai secara keseluruhan pada akhir pemerintahan Sultan ke-6, La Buke Gafarul Wadadu (1632-1645). Artinya, benteng ini dibangun dalam kurun waktu sekitar lima puluh tahun, melampaui tiga masa sultan yang berbeda. Lokasi Benteng Keraton berjarak sekitar 3 kilometer dari pusat Kota Baubau.

 

Benteng yang terbuat dari batu gunung dan direkatkan menggunakan pasir dan kapur ini terkenal sebagai benteng terluas di dunia menurut Museum Rekor Indonesia dengan luas 22,8 Ha dan panjang 2.740 meter. Tinggi benteng 1-8 meter dengan ketebalan dinding 50 cm hingga 2 meter. Memiliki 16 kubu pertahanan, 12 pintu, dilengkapi 100 meriam yang diletakkan di setiap pintu dan sudut benteng.

 

Situs Budaya di sekitar Keraton Buton

 

Batu Popaua (Batu Pelantikan)

Difungsikan pada abad ke-14, bersamaan dengan tampilnya kerajaan buton. Dipakai pertama untuk pelantikan Raja Buton I (Wakaakaa), kemudian untuk pelantikan Raja atau Sultan. Tahun 1929 atas inisiatif Raja Muhammad Hamidi, dibuatkan atap sebagai pelindung dari hujan dan sinar matahari. Pada tahun 2002 di pagari dengan batu setinggi 175 cm.

 

Baluarana waberongalu

Merupakan salah satu benteng atau pintu gerbang pertahanan yang terletak pada sudut utara benteng keraton. posisinya bersebelahan dengan Baluarana Tanailandu. pada bagian dalam benteng terdapat sebuah meriam besar yang digunakan sebagai alat persenjataan (penyimpanan bom).

 

Baluarana waberongalu ini berfungsi untuk menjaga dan memantau musuh dari arah utara. musuh-musuh tersebut biasanya datang dari negeri luar seperti Belanda atau jepang,mereka datang untuk maksud dan tujuan yang negatif bagi tanah Buton.

Proses pemberian nama dari masing-masing Baluarana tersebut di dasari pada ruang-ruang penjaganya.

Baruga

 

Menurut sejarah Buton dahulu, yang dimulai dari kerajaan tepatnya pada tahun 1542 M dan pada tahun 1712 M Buton beralih menjadi sebuah kesultanan. dari itu pada massa pemerintahan Sultan Syakiyuddin Darul Alam atau biasa di kenal dengan Laelangi. Di masa pemerintahan beliau banyak yang dibangun Benteng keraton Buton dan salah satunya adalah Baruga. Baruga pada masa pemerintahan Laelangi berfungsi sebagai tempat berkumpulnya para sultan untuk melakukan upacara ataupun membahas masalah-masalah ekonomi, politik dan lain-lain yang di hadapi oleh masyarakat Buton. Di samping itu baruga juga digunakan untuk pelantikan sultan-sultan.

 

Makam Sultan Nasruddin (La Ibi/Oputa Mosabuna Yilawalangke)

Memerintah pada tahun 1709 s/d 1711 M. Sultan Nasruddin adalah gelar sultan La Ibi. diriwayatkan,sebenarnya beliau merasa berat untuk menerimah jabatan Sultan. La Ibi terpaksa menerima itu karena demi kehormatan kaumnya yaitu aliran bangsawan Tanailandu. La Ibi menerima jabatan tersebut pada salah seorang diantaranya yang merasa mampu untuk menjalankan jabatan sultan.

 

Kasulana Tombi (Tiang bendera)

Didirikan pada abad ke-17, untuk mengibarkan Tombi kerajaan Buton. Bahan dasarnya terbuat dari kayu jati dengan tinggi 21 M dari permukaan tanah yang berdiameter antara 25 cm hingga 70 cm.

Tiang bendera ini didirikan tepatnya pada tahun 1712 M, didirikan oleh Sultan Nur Alam dan sudah berumur kurang lebih 300 tahun dan fungsi utama Tiang bendera ini adalah sebuah syarat utama sebuah kerajaan.

 

Liana Latoundu (Gua Arupalaka)

Gua ini merupakan ceruk kecil bentukan Alam setinggi 1,5 M di jadikan tempat persembunyian Latoundu (Arupalaka) Raja Bone yang berpengaruh di tanah Bugis yang melarikan diri ke Buton pada tahun 1660 dan menetap tidak lama dan kembali lagi ke Sulawesi selatan untuk memimpin perlawanan menghadapi Gowa.

 

Sejarah Mujina Kalau

Dahulu ada sembilan orang Wali yang di kirim oleh Rasulullah SAW untuk menyebarkan Islam, Salah satunya adalah Syekh Abdul Wahid dengan salah satu muridnya bernama ” Mujina” beliau yang menyebarkan Islam, yaitu di Burangasi sebagai wilayah pertama masuknya Islam di pulau Buton. Pada masa pemerintahan Sultan ke-29, Mujina menjadi salah satu penyebar Islam yang diperintahkan oleh sultan dan beliau juga pernah mengikuti perang melawan Tobelo.

 

Mujina adalah seorang perempuan dengan ciri-ciri fisik putih berikat sanggul di kepala dan silsilahnya berhubungan dengan sultan ke-29. Beliau juga suka memakai jubah berwarna biru dengan kain selempang, memakai pedang dan berkuda. Turunannya dari sultan 17-29, warna kesukaanya warna kuning emas campur merah dan itulah yang merupakan simbol dari tempat duduknya berbentuk tiga lekungan. Hanya saja di saat Istana/Keraton mengalami perpindahan dari keraton lama ke keraton baru yaitu dimasa kekuasaan Sultan Murhum, semua hilang begitu saja bersama dengan keraton lama yang artinya ” Gaib ” dan itu merupakan kekuasaan dari ALLAH SWT.

Makam Mujina kalau ini bertempat di kelurahan Melai dan berada di dalam area perumahan masyarakat Melai. dimana didalam area tersebut terdapat banyak makam dan salah satunya adalah makam Mujina Kalau, yang dibatasi dengan pagar beton dengan lambang berciri khas Rumah Baruga tepat diatas pintu masuk area pemakaman beliau.

 

Makam Sultan Murhum Khalifatul Hamis

Sultan Murhum diangkat menjadi sultan Buton pada abad ke-6 dengan perubahan struktur pemerintahan dalam masa Raja Mulae maka wilayah kerajaan Buton lebih luas lagi. Beliau dalam silsilah, Biasa disebut Lakila ada pula yang menyebut Lakilaponto. Lakilaponto di abaikan namanya menjadi Murhum.

 

Sultan Murhum menerima Syekh Abdul Wahid bersama istrinya di keraton untuk jangan bertemu orang banyak, dimana Syekh Abdul Wahid menganjurkan pada Sultan dan pejabat kerajaan serta seluruh masyarakat agar masuk agama Islam serta mengaku bahwa Muhammad SAW adalah pesuruh ALLAH. akhirnya Sultan dan isterinya disusul oleh para pejabat kerajaan serta masuk agama Islam. Beliau menjabat sebagai Sultan sejak tahun 1538 M, selama 46 tahun sampai beliau wafat pada tahun 1584. Jirat makam di perbaiki pada tahun 1989, dibuatkan sarana jalan yang menuju situs.

 

Batu Wolio (Petirtaan)

Batu Wolio merupakan Tugu batu setinggi 1 m, berfungsi sebagai tempat pengambilan air suci (Tirta) untuk dimandikan kepada Calon Raja/Sultan sebelum beliau dilantik. Batu wolio di perkirakan berasal dari abad 14 dan air batu tersebut berasal dari mata air Tobe-Tobe.

Batu Wolio ini terletak di tengah kawasan benteng keraton, kelurahan melai. tepatnya di sebelah timur masjid agung keraton Buton.

 

Lambang Kerajaan Buton

Mesjid Agung Keraton Buton bisa juga di sebut sebagai lambang kerajaan Buton, karena kokoh bangunanya.

 

Letak Geografis

Mesjid Agung Keraton Buton terletak dalam benteng keraton Buton, datas bukit yang bernama bukit sin. karena bentuknya seperti sin.

Ujung I : letak kuburan seerti baaluwu di sebut waolima/walimea yang artinya “tebaslah” , tindakan pertama penebasan untuk perkampungan.

Ujung II : Torisi adalah tempat mengadakan pertemuan.

Ujung III : Gama/Gema yang bertujuan bergema sepanjang masa.

 

Bentuk atau Arsitektur bangunan

Bentuk

Panjang saf 13, dan 40 orang persafnya.

Didirikan sejak tahun 948 H (1538) oleh Syekh Abdul Wahid.

 

Arsitektur Bangunan

Mesjid Agung Keraton didirikan pada masa kesultanan Buton adalah “Mesjid Agung Keraton” yang di dirikan pada tahun 948 H (1538 M) yang menjadi pelopor pembangunannya adalah Syekh Abdul Wahid, di bantu para pejabat tinggi kerajaan seperti sultan Murhum, Sangia, La Ulo. wakti otu Sapati menjawarai, sudah meninggalkan Buton.

Luas Mesjid

luas Mesjid 18×24 m persegi, panjang berbentu Mihrab

luas serambi muka 5×40 m persegi

luas serambi kanan 8×40 m persegi

luas serambi bagian barat 20×40 m persegi

luas serambi bagian serambi kiri selatan 14×40 m persegi

 

Bendera Kerajaan Buton (longa-longa)

Asal mulanya bendera kerajaan Buton oleh masyarakat setempat menyebut Longa-Longa. Di kibarkan sejak Raja Buton I (Raja Wakaakaa). Panjang Longa-Longa kurang lebih 5 m dan lebarnya kurang lebih 1 m. konon ceritanya Longa-Longa di kibarkan pada saat jatuhnya atau turunnya tahta Sultan dan upacara-upacara adat yangkan di selenggarakan. Sampai saat ini belum ada pendunduk setempat yang mengetahui siapa pembuat Longa-Longa tersebut, karena banyak versi yang meceritakan tentang Longa-Longa ini.

 

Salah satu sudut Benteng Keraton Buton

Saking besar dan megahnya, bangunan ini pun dikenal dengan nama lain, yaitu Seribu Benteng. Sebab, bangunan ini terdiri dari beberapa benteng kecil di dalamnya. Benteng kecil ini menjadi pendukung bangunan induk, diantaranya adalah Benteng Sorawolio dan Benteng Baadia. Setiap benteng dihubungkan oleh jalan-jalan rahasia. Benteng Sorawolio berfungsi sebagai pertahanan, karena tempatnya selain lebih aman juga tanahnya subur sehingga bisa membuat nyaman sebagai tempat bertahan bagi pihak kesultanan bila suatu saat lingkungan benteng induk dikuasai musuh.

 

Sedangkan benteng Baadia fungsinya sebagai pengintaian, dimana berdasarkan letaknya yang stretagi pada ketinggian, di sekelilingnya adalah lembah. Selain itu ada pula daerah yang dijadikan sebagai fungsi penghancuran bagi musuh, yakni sebuah daerah tandus di bagian barat benteng, dikenal dengan nama Katobengke. Di tempat inilah pelaksanaan eksekusi bagi musuh.

 

Meriam yang berada di salah satu Benteng Keraton Buton

Di dalam benteng terdapat situs-situs sejarah seperti batu popaua (batu pelantian raja/sultan), malige (rumah adat), masigi (Masjid) dan Sulana Tombi (Tiang Bendera). Situs sejarah batu popau yakni tempat pelantikan raja. Batu ini berbentuk alat vital wanita. Di atas batu inilah setiap sultan yang terpilih dilantik dan diambil sumpahnya.

 

Batu Popaua tempat pelantikan Raja/Sultan Buton

Sulana Tombi terletak di sebelah kanan masigi sebagai peninggalan sejarah yang sedianya adalah sebuah tiang bendera untuk mengibarkan bendera/panji Kesultananan Buton. Tiang bendera dengan tinggi 21 meter tersebut dibangun tahun 1712 di antara masa pemerintahan Sultan keempat Dayanu Iksanuddin dan Sultan kelima La Balawo bergelar Sultan Abdul Wahab atau Mosabuna yi Watole. Sulana Tombi kini disanggah empat tonggak lantaran sudah termakan usia. Tiang dari kayu jati ini pernah tersambar petir, namun masih terpancang dan pernah mengibarkan banyak bendera, mulai dari bendera Keraton Buton, Belanda, Jepang dan Sang Saka Merah Putih.

 

Tiang Bendera yang terletak di dekat Masjid Keraton Buton

Di dalam lingkungan keraton juga ada malige, yakni rumah adat bersusun empat yang terbuat dari kayu. Uniknya rumah ini tidak menggunakan paku, melainkan didesain dari gigi-gigi buatan sebagai pengait antara satu sudut dengan sudut lainnya. Dengan demikian maka rumah ini bisa dibongkar pasang. Rumah-rumah Buton kebanyakan didesain seperti ini, sehingga di Buton kita dapat membeli rumah di satu tempat lalu dipindahkan ke tempat lain atau daerah lain. Rumah yang dibeli akan dibongkar kemudian dipasang kembali di tempat baru. Bisa saja rumah itu didirikan kembali di Jawa atau di luar negeri sekaligus, yang penting bisa mengangkut atau memindahkan bahan-bahan bangunan yang terlebih dahulu dibongkar. Istimewanya lagi bahwa malige bukanlah milik kerajaan, karena setiap raja Buton tidak mempunyai rumah jabatan. Setiap raja membangun rumah sendiri.

 

Rumah Adat Kerajaan Buton

Masigi Keraton (kini lebih dikenal dengan nama Masjid Agung Keraton Buton)dibangun dua abad setelah masa kesultanan di Buton, tepatnya pada abad 18, pada masa pemerintahan Sultan Sakiuddin Durul Alam. Bangunan segi empat berbentuk tumpeng hingga kini masih berfungsi sebagai tempat ibadah, mampu menampung jamaah hingga 500 orang.Masigi Keraton dibangun berdasarkan arsitektur sederhana namun setiap komponen bangunannya sarat dengan simbol yang kaya akan makna. Menurut Walikota Baubau, MZ Amirul Tamim, rangka masjid menggunakan 313 potongan kayu, sama banyaknya dengan jumlah tulang rangka manusia, serta dilengkapi 12 pintu dan jendela sebagai simbol jumlah lubang dalam tubuh manusia, seperti lubang hidung, telinga, mata, mulut, dan seterusnya.

 

Masjid Keraton Buton

Di era Indonesia modern, pengurus masjid tidak diperbolehkan berpolitik karena dapat mengganggu indepedensi dewan masjid. Mereka juga setiap saat bisa dicabut wewenang dan jabatannya, ketika membuat kesalahan. Mereka sama sekali tidak boleh melakukan kesalahan prosedur, dalam melaksanakan tugasnya. Sebagai penganut kesetaraan, proses penggantian salah satu pengurus masjid, dilakukan melalui musyawarah bersama.Keberadaan para pengurus masjid ini begitu penting bagi masyarakat di lingkungan keraton. Ada orang yang khusus bertugas untuk mengurus jenazah dan upacara kematian. Tugas lakina agama dan imamu jauh lebih berat, karena setiap hari harus berzikir dan mendoakan keselamatan, serta kesejahteraan rakyat Buton.

 

Petugas juga wajib mendaraskan zikir setiap hari, yang digilir setiap satu minggu. Uniknya, jika banyak bencana dan wabah yang menimpa, masyarakat mempertanyakan upaya para pengurus masjid dalam mendoakan keselamatan mereka. Beban kepercayaan itu begitu besar. terkadang sulit untuk dicerna. Para pengurus masjid, sebelum menjalankan tugas terlebih dahulu dilantik dengan penyerahan tongkat sebagai surat keputusannya. Khatib mempunyai tanggung jawab menjaga ketertiban lingkungan keraton, termasuk menjaga wabah penyakit. Bila dalam sepekan setelah khutbah di masigi ternyata terjadi bencana maka sang khatib pun akan dicopot dari jabatannya.

 

Hari Jumat adalah saat tersibuk bagi para anggota dewan masjid. Pada hari itu, bedug akan dipukul sebanyak lima kali, sejak pukul enam pagi, hingga pukul sebelas, yakni menjelang salat Jumat. Petugas pemukul bedug disebut tungguna ganda, tidak boleh melebihi atau mengurangi jumlah pukulan, dan irama yang telah ditetapkan. Pakaian mereka merupakan kain tenun khas Buton. Berbeda dengan lakina agama dan petugas lain yang memakai pakaian berwarna putih. Beban mental yang ditanggung semua anggota pengurus masjid cukup berat.

Leave a Reply

Your email address will not be published. Required fields are marked *