DPR Sahkan UU Kesejahteraan Ibu dan Anak, Puan: Untuk Indonesia Emas 2045

DPR RI mengesahkan Rancangan Undang-Undang (RUU) Kesejahteraan Ibu dan Anak (KIA) menjadi UU. Ketua DPR RI Puan Maharani berharap RUU yang merupakan inisiatif DPR itu semakin meningkatkan sumber daya manusia (SDM) generasi penerus bangsa demi cita-cita Indonesia Emas 2045.
UU KIA yang kini menjadi UU Kesejahteraan Ibu dan Anak Pada Fase Seribu Hari Pertama Kehidupan itu disahkan dalam Rapat Paripurna DPR yang digelar di Kompleks Parlemen, Senayan, Jakarta, Selasa (04/06/2024). Puan memimpin langsung rapat paripurna pengesahan RUU KIA tersebut.
Sebelum UU KIA disahkan, Wakil Ketua Komisi VIII DPR Diah Pitaloka menyampaikan laporan pembahasan RUU tersebut. UU ini terdiri dari 9 bab, 46 pasal, yang pengaturannya meliputi hak dan kewajiban, tugas dan wewenang penyelenggaraan kesejahteraan ibu dan anak, data dan informasi, pendanaan serta partisipasi masyarakat.
Kemudian Puan meminta persetujuan anggota dewan untuk pengesahan RUU KIA menjadi undang-undang. Pertanyaan disampaikan sebanyak dua kali.
“Sidang Dewan yang kami hormati, selanjutnya kami akan menanyakan sekali lagi kepada seluruh anggota Dewan, apakah RUU KIA pada fase seribu hari pertama kehidupan dapat disetujui untuk disahkan menjadi undang-undang?” tanya Puan.
Anggota DPR pun menjawab setuju lalu Puan mengetok palu tanda RUU KIA kini telah resmi menjadi undang-undang.
Melalui UU KIA, Puan menyatakan DPR RI memiliki harapan besar agar setelah UU diimplementasikan nanti dapat bermanfaat untuk kesejahteraan ibu dan anak.
“Alhamdulillah UU Kesejahteraan Ibu dan Anak Pada Fase Seribu Hari Pertama Kehidupan sudah disahkan hari ini. Semoga bermanfaat ke depannya, berguna bagi seribu hari pertama anak untuk Indonesia emas 2045,” ujar perempuan pertama yang menjabat sebagai Ketua DPR RI itu.
“Dengan pengimplementasian kebijakan dan program dari UU ini kami harapkan dapat mengangkat harkat dan martabat para ibu, meningkatkan kesejahteraannya, serta menjamin tumbuh kembang anak sejak fase seribu hari pertama kehidupan,” lanjut Puan.
Puan pun memberikan apresiasi atas kinerja Komisi VIII DPR, Pemerintah, berbagai lapisan masyarakat, serta seluruh stakeholder lain yang terlibat dalam pembahaaan UU KIA. Ia juga berterima kasih atas dukungan rakyat Indonesia hingga akhirnya UU KIA dapat terealisasi.
Adapun beberapa poin penting dalam UU KIA adalah sebagai berikut:
Pertama, perubahan judul dari Rancangan Undang-Undang tentang Kesejahteraan Ibu dan Anak menjadi Rancangan Undang-Undang tentang Kesejahteraan Ibu dan Anak pada Fase Seribu Hari Pertama Kehidupan.
Kedua, penetapan definisi anak dalam Rancangan Undang-Undang tentang Kesejahteraan Ibu dan Anak pada Fase Seribu Hari Pertama Kehidupan, khusus definisi anak pada 1.000 hari pertama kehidupan yaitu kehidupannya dimulai sejak terbentuknya janin dalam kandungan sampai dengan berusia dua tahun, sedangkan definisi anak secara umum dapat merujuk pada Undang-Undang Perlindungan Anak.
Ketiga, perumusan cuti bagi ibu pekerja yang melakukan persalinan, yaitu paling singkat tiga bulan pertama dan paling lama tiga bulan berikutnya, jika terdapat kondisi khusus yang dibuktikan dengan surat keterangan dokter.
Setiap ibu yang bekerja yang melaksanakan hak atas cuti melahirkan tidak dapat diberhentikan dari pekerjaannya, dan berhak mendapatkan upah secara penuh untuk tiga bulan pertama dan bulan keempat, serta 75 persen dari upah untuk bulan kelima dan keenam.
Keempat, penetapan kewajiban suami untuk mendampingi istri selama masa persalinan dengan pemberian hak cuti selama dua hari dan dapat diberikan tambahan tiga hari berikutnya atau sesuai dengan kesepakatan pemberi kerja. Bagi suami yang mendampingi istri yang mengalami keguguran berhak mendapatkan cuti dua hari.
Kelima, perumusan tanggung jawab ibu, ayah, dan keluarga pada fase seribu hari pertama kehidupan. Demikian pula tanggung jawab pemerintah pusat dan pemerintah daerah mulai dari perencanaan hingga monitoring dan evaluasi.
Keenam, pemberian jaminan pada semua ibu dalam keadaan apapun, termasuk ibu dengan kerentanan khusus. Di antaranya, ibu berhadapan dengan hukum; ibu di lembaga pemasyarakatan, di penampungan, dalam situasi konflik dan bencana; ibu tunggal korban kekerasan; ibu dengan HIV/AIDS; ibu di daerah tertinggal terdepan dan terluar; dan/atau ibu dengan gangguan jiwa; termasuk juga ibu penyandang disabilitas yang disesuaikan dengan peraturan perundangan mengenai penyandang disabilitas.