FK Untar Peringatkan Dampak Serius Resistensi Antibiotik bagi Kesehatan Global

0
WhatsApp Image 2024-07-24 at 09.21.06

Universitas Tarumanagara (Untar) berkolaborasi dengan INTI International University, Malaysia  mengadakan seminar internasional bertema “Antibiotic Resistance: The Silent Pandemic”, Kamis(18/7/2024) di Auditorium Gedung J, Kampus I.

Ketua Panitia Dr. dr. Shirly Gunawan, Sp.FK. mengungkapkan resistensi antibiotik merupakan  ancaman serius bagi kesehatan masyarakat global. Jika tidak mendapatkan pengawasan yang baik,  resistensi antibiotik dapat berkontribusi pada meningkatnya masalah kesehatan dan menjadi  penyebab kematian utama. Kesadaran masyarakat yang masih rendah terhadap dampak  penggunaan antibiotik yang tidak tepat merupakan tantangan signifikan dalam memperbaiki  kesehatan global. Hal inilah yang menyebabkan resistensi antibiotik dianggap sebagai the silent  pandemic.

Dalam sambutannya, Rektor Untar Prof. Dr. Ir. Agustinus Purna Irawan, M.T., M.M., I.P.U., ASEAN  Eng. berharap isu resistensi antibiotik menjadi fokus bersama untuk diatasi. “Dokter, pembuat  kebijakan, peneliti, dan kita semua perlu bekerja sama untuk mengedukasi penggunaan antibiotik  dengan bijak kepada masyarakat, memberi kontribusi penemuan pengobatan dengan metode baru  guna mencegah terjadinya infeksi,” pungkasnya.

Pembicara dari berbagai universitas internasional dihadirkan dalam seminar, antara lain Prof. Dr.  Geetha Subramaniam (INTI International University), dr. Anis Karuniawati, Ph.D., SP.MK(K) (Komite  Pengendalian Resistensi Antimikroba), Assoc. Prof. Dr. Stephen Kidd (The University of Adelaide,  Australia), Lalita Ambigai Sivasamugham (INTI International University), Prof. Dr. Anshoo Agarwal  (Northern Border University, Kingdom of Saudi Arabia), Assoc. Prof. Dr. Gayathri Gururajan (Vels  Institute of Science, India), dan dr. Velma Herwanto, Sp.PD, Ph.D., FINASIM, FACP (FK Untar).

Geetha mengungkapkan angka kematian akibat resistensi antibiotik diperkirakan akan mencapai  puncaknya pada tahun 2050 dengan 10 juta jiwa, menyaingi kematian akibat kanker. Resistensi  antibiotik bukan sekadar masalah kesehatan, tetapi juga terkait dengan faktor ekonomi dan  kemiskinan. Hal ini memperlihatkan bagaimana ketidaksetaraan dapat memperburuk krisis  kesehatan global.

Di sisi lain, Stephen membahas respon bakteri terhadap stres di dalam tubuh manusia serta reaksi  terhadap antibiotik. Hasil penelitian menunjukkan resistensi antibiotik ditemukan akibat perubahan  karakteristik bakteri secara genetik. Ia juga menyoroti pentingnya riset untuk inovasi dalam  pengembangan antibiotik yang lebih efektif, sejalan dengan upaya mendorong kemajuan industri  dan infrastruktur kesehatan.

Lalita memaparkan hasil penelitiannya yang menggunakan bahan alami seperti daun mimba, pare,  dan serai, menunjukkan karakteristik antibakteri yang konsisten. Penelitiannya ini sejalan dengan  prinsip konsumsi dan produksi yang bertanggung jawab, berfokus pada penggunaan bahan alami  sebagai alternatif antibiotik yang ramah lingkungan.

Ia percaya bahwa penelitian yang lebih mendalam mengenai metode ekstraksi serta pemahaman  tentang struktur senyawa tanaman dapat mengembangkan alternatif antibiotik berbasis tanaman,  sehingga dapat diproduksi dan dikonsumsi secara massal di masa depan.

Hal lain terkait antibiotik disampaikan Anshoo. Ia menyatakan resistensi antibiotik seringkali muncul  akibat penggunaan yang tidak tepat, membuat konsumsi antibiotik tidak lagi menunjukkan  khasiatnya untuk menghadapi bakteri. Ditambahkannya, antibiotik tidak dapat mengobati penyakit  infeksi yang disebabkan oleh virus atau jamur.

“Pengetahuan yang cukup bagi masyarakat untuk memahami fungsi antibiotik dapat mengurangi  kemungkinan penyalahgunaan antibiotik sehingga dapat meminimalisir potensi resistensi  antibiotik,” tegasnya.

Velma menyoroti penurunan penemuan antibiotik sejak 1950 dan berakhir pada 1987. Meskipun  demikian, angka resistensi antibiotik terus meningkat. “Ini menandakan urgensi untuk  menggunakan antibiotik secara rasional lewat diagnosis penyakit yang benar, meresepkan antibiotik  dengan dosis yang sesuai terhadap pasien,” pungkasnya sebagai pembicara terakhir.

Seminar internasional ini turut dihadiri Dekan Fakultas Kedokteran (FK) Untar Dr. dr. Noer Saelan  Tadjudin, Sp.KJ. dan Dekan Faculty of Health and Life Sciences INTI International University Prof. Lee  Shiou Yih.

Leave a Reply

Your email address will not be published. Required fields are marked *