HSBC Berhenti Danai Perusahaan Perusak Lingkungan

Foto: fiboni.com
Langkah besar dilakukan Bank HSBC yang telah menyatakan komitmennya untuk berhenti mendanai perusahaan perusak lingkungan. Kebijakan baru tersebut berupa “nol deforestasi, gambut dan ekploitasi”, yang di dalamnya meliputi perusahaan sawit.
Kebijakan revolusioner tersebut, seperti dilansir Greenpeace.org merupakan kontribusi langsung masyarakat yang bergabung menolak kebijakan bank tersebut. Termasuk di antaranya 30 ribu nasabah bank terbesar di Eropa yang memberikan pembiayaan paling besar untuk perusahaan kelapa sawit. Jumlah itu bergabung menambah deretan lebih dari 270 ribu orang di seluruh dunia yang melakukan petisi yang diinisiasi oleh Greenpeace Internasional, terkait penghancuran hutan Indonesia.
Annisa Rahmawati, juru kampanye Greenpeace Indonesia mengungkapkan, “Hari ini kita berhasil membuktikan kekuatan bersama mendesak perusahaan yang mengancam masa depan planet kita. Saya tidak bisa mengatakan tidak akan ada lagi ancaman, tapi saya yakinkan kita tidak akan berhenti beraksi.” Seperti yang tertulis pada email yang dikirimkan kepada pendukung petisi dan donatur gerakan.
Di laman Greenpeace, dia juga menerangkan hutan hujan milik Indonesia telah dirusak sedemikian rupa oleh bank-bak besar dunia, karena ikut mendanai perusahaan yang bertanggung jawab atas kerusakan itu. Komitmen HSBC untuk tidak lagi mendanai perusahaan kelapa sawit menjadi langkah awal yang bagus. Lembaga nirlaba yang berkonsentrasi pada penyelamatan bumi dan kelestarian bumi itu selanjutnya berjanji akan memantau ketat untuk memastikan implementasi kebijakan HSBC. Langkah HSBC diharapkan menjadi penanda dan bisa diikuti perbankan global lain di seluruh dunia.
Dengan demikian, ke depan, perusahaan sawit yang merusak gambut dan hutan tidak akan lagi mendapatkan sumber pendanaan HSBC. Komitmen ini selambat-lambatnya akan mulai bergulir pada 30 Juni 2017.
Salah satu dampak paling nyata dari pengrusakan hutan ini di Indonesia adalah orangutan, satwa langka khas Indonesia masuk kategori ‘terancam punah’ dari sebelumnya masih ditetapkan sebagai satwa ‘terancam’. Selain dampak asap kebakaran hutan dan pengeringan gambut yang menyebabkan korban meninggal dini di Asia Tenggara pada 2015 mencapai 100 ribu.