Pajak Jasa Hiburan Naik 40 Persen, GIPI Akan Lakukan Uji Materi ke MK

Gabungan Industri Pariwisata Indonesia (GIPI) melayangkan protes terhadap kenaikan pajak 40 persen bagi usaha hiburan. Kenaikan pajak tersebut diatur dalam pasal 55 dan pasal 58 ayat 2 Undang-undang nomor 1 tahun 2022 tentang Hubungan Keuangan antara Pemerintah Pusat dan Pemerintah Daerah (HKPD).
Pasal 55 berisikan jenis usaha yang masuk dalam jasa hiburan, sedangkan pasal 58 ayat 2 memuat kenaikan tarif Pajak Barang dan Jasa Tertentu (PJBT) paling rendah 40 persen dan paling tinggi 75 persen.
Kenaikan pajak tersebut diperuntukan bagi jenis usaha hiburan yang meliputi diskotik, karaoke, kelab malam, bar, dan mandi uap/spa.
Ketua Umum GIPI Hariyadi Sukamdani mengatakan protes yang dilakukan GIPI yakni melalui uji materi terhadap kedua pasal tersebut ke Mahkamah Konstitusi (MK). Rencananya permohonan uji materi akan dilakukan pada bulan ini.
Sebelumnya uji materi terhadap pasal yang sama, sudah didaftarkan oleh sejumlah asosiasi spa pada 5 Januari 2024. Hariyadi pun menyambut baik upaya yang dilakukan asosiasi spa dalam merespon kenaikan pajak yang tidak masuk akal ini.
“Tadi kami sudah berkoordinasi juga dengan teman-teman dari asosiasi sp, a mereka sudah memasukkan kemarin tanggal 5 Januari, Nah kita berharap di bulan ini juga dari GIPI yang akan mendaftarkan uji materi ke Mahkamah Konstitusi,” kata Hariyadi saat diwawancarai tim liputan EL JOHN Media, Kamis (11/01/2024).
Hariyadi yang juga sebagai Ketua Umum PHRI menyebut kenaikan 40 persen sangat memberatkan, jika kebijakan tersebut diterapkan maka dipastikan akan banyak usaha hiburan yang berguguran. Kebanyakan pelaku usaha hiburan merupakan pelaku usaha menengah ke bawah yang sulit untuk bertahan jika ada kebijikan yang merugikan. Selain itu, usaha hiburan merupakan salah satu usaha yang memiliki kontribusi besar bagi terciptanya lapangan pekerjaan. Selain itu, dari
“Tentunya kenaikan ini, akan membuat mereka tidak mampu untuk bisa operasi, padahal industri hiburan menyerap tenaga kerja dalam jumlah besar dan para pekerjanya kebanyakan bukan pekerja yang memerlukan jenjang Pendidikan tinggi,” terang Hariyadi.
“Dari sisi konsumen pun juga akan terbebani, para konsumen merupakan konsumen menengah kebawah. Jadi bisa dibayangkan bahwa aturan ini atau tarif perpajakan ini betul-betul menjadi beban dan dapat mematikan industri di sektor jasa hiburan. Jadi ini menjadi langkah kami untuk melindungi anggota kami dari ancaman kemungkinan mereka akan gulung tikar,” tambahnya.
Hariyadi menilai kebijakan ini tidak mencerminkan aturan yang sehat, justru akan muncul ketidakpatuhan bagi pelaku usaha. Seharusnya aturan yang dibuat merupakan aturan yang tidak merugikan sehingga dapat dijalani dan dipatuhi.
“Kalau kebijakan ini diberlakukan pasti akan menimbulkan dampak yang tadi saya bilang, akan banyak yang gulung tikar atau tidak menutup kemungkinan menjadi bisnis ilegal karena nggak sanggup bayar akhirnya mereka melakukan secara illegal,” ujar Hariyadi.
Hariyadi justru bertanya apakah kenaikan pajak ini, untuk mematikan industri hiburan secara pelan-pelan, pasalnya tidak ada satupun pelaku usaha hiburan maupun asosiasi yang menaungi industri hiburan diajak untuk membahas kebijakan ini.
“Tidak ada yang diajak bicara sama sekali, jadi saya sudah mengkonfirmasi ke seluruh asosiasi yang ada di dalam gabungan induksi pariwisata Indonesia dan mereka mengkonfirmasi bahwa mereka belum pernah diajak bicara tentang hal ini,” tegas Hariyadi.
“Sebetulnya bisa dikategorikan bahwa tarif yang tinggi dapat dikatakan sebagai menghambat pertumbuhan sektor tertentu, nah pertanyaannya, apa betul bahwa sektor jasa Hiburan ini memang akan dihambat,” sambungnya.
Hariyadi meminta kepada pemerintah daerah untuk tidak menarik kenaikan pajak 40 persen, selama uji materi ini masih berjalan di MK.
“Kita berargumentasi kepada pemerintah setempat ya, karena ini yang memungut pajak ada di pemerintah tingkat kabupaten/kota, untuk itu karena masih berperkara jangan tidak ditarik dulu, sebelum ada keputusan dari MK,” tutup Hariyadi.