Perempuan Lebih Banyak Alami Gangguan Mental Akibat Pandemi Covid-19

0
Untitled 1

Pandemi Covid-19 yang terjadi di awal Maret 2020 tidak hanya memberikan dampak negatif bagi kesehatan fisik seseorang namun kesehatan mental juga ikut terdampak. Pada lima bulan terjadinya Pandemi,  Perhimpunan Dokter Spesialis Kedokteran Jiwa Indonesia (PDSKJI) melakukan penelitian untuk melihat seberapa besar efek pandemi ini terhadap kesehatan jiwa manusia.

Penelitian dari PDSKJI ini disampaikan dr. Chrisna Mayangsari, Sp.KJ saat menjadi narasumber program EL JOHN TV yakni EL JOHN Medical Forum. Program ini dipandu oleh Cinthia Kusuma Rani (Miss Earth Indonesia 2019)

“Penelitian melibatkan 4010 orang yang tersebar di 34 provinsi di Indonesia. ‘Hasil nya 75 persen mengalami trauma psikologis,  diikuti yang kedua 65 persen cemas dan 62 persennya mengalami depresi,” kata dokter Chrisna.

Perempuan menjadi gender terbanyak yang  mengalami gangguan mental  akibat pandemi. Perbandingannya untuk perempuan mencapai 71 persen sedangkan laki-laki yang mengalami gangguan mental hanya 29 persen.

Untuk perempuan, pada umumnya terjadi pada usia 17 sampai 29 tahun dan di atas usia 60 tahun. Usia di atas 60 tahun untuk perempuan sangat rentan mentalnya terganggu setelah tidak kuat menerima hantam pandemi  Covid-19 dengan berbagai variannya.

“Dan ada data lagi satu dari lima orang yang mengeluhkan adanya trauma psikologis, cemas maupun depresi, mereka juga mengeluhkan adanya ide-ide atau keinginan untuk mengakhiri hidup,” ujar dokter psikiater di  Rumah Sakit Taman Harapan Baru Bekasi ini.

Pikiran kematian terbanyak pada usia 18-29 tahun, dengan persentasenya 65 persen untuk 18-29 tahun, dan sisanya 44 persen. Lalu ada 15 persen memikirkan lebih baik mati tiap hari, dan 20 persen beberapa hari dalam seminggu.

Survei ini,  juga menegaskan tren perbulan berpikir untuk mati menurun, lalu meningkat lagi   Pandemi juga ternyata membuat seseorang rentan merasa lebih baik mati atau dengan melukai diri sendiri. Masih dari temuan Perhimpunan Dokter Spesialis Kedokteran Jiwa Indonesia, per 14 Mei 2020 ada 51 persen orang responden yang masih yakin tidak pernah ingin mati.

Sebaliknya, pikiran untuk lebih baik mati muncul beberapa hari dalam dua minggu sebesar 19 persen. Ada separuh waktu dalam dua minggu orang berpikir lebih baik mati atau bunuh diri sebesar 12 persen, dan orang yang hampir tiap hari memikirkan hal ini mencapai 19 persen

“Jadi memang dampaknya bisa jangka panjang, bahkan depresi sendiri sudah diprediksi oleh WHO, sebelum adanya pandemi itu menempati urutan kedua sebagai gangguan yang menyebabkan beban., tidak hanya secara ekonomi  tetapi produktivitas. Tidak hanya di Indonesia tetapi ini global seluruh dunia. Nanti satu dekade kedepan, depresi akan menjadi nomor satu sebagai Global Burden of Disease,” terang dokter  Chrisna

Dokter Chrisna mengungkapkan, banyak  orang menganggap depresi dan sedih adalah hal yang sama. Padahal, ada sejumlah perbedaan yang sangat mendasar antara sedih dan depresi. Perasaan sedih muncul sebagai reaksi normal ketika seseorang mengalami stres, misalnya ketika ada kerabat atau keluarga yang meninggal, baru saja bercerai, atau baru diberhentikan dari pekerjaan. Setelah masa sulit tersebut usai, biasanya perasaan sedih akan hilang dengan sendirinya.

 Berbeda dengan rasa sedih, depresi berlangsung dalam jangka panjang. Kondisi ini merupakan gangguan mental serius yang dapat mengancam kesehatan psikis dan fisik. Jika depresi tidak diobati, sangat kecil kemungkinannya untuk bisa sembuh sendiri.

Ilustrasi

“ Orang yang mengalami depresi itu ada tanda ada tiga yaitu satu gangguan mood, jadi mood-nya lebih mudah sedih. Biasanya sering menangis tanpa sebab atau berkepanjangan. Yang kedua hilangnya minat pada aktivitas yang biasanya disukai. Yang ketiga berkurangnya energi padahal tidak melakukan kegiatan yang berat,” ungkap dokter Chrisna

“Ini tiga tanda yang disebut trias yaitu tiga gejala utama  pada depresi.  Selain itu depresi sendiri juga ada pikiran tidak berharga, lebih baik mengakhiri hidup atau tidak berdaya, masa depan suram, termasuk pada kondisi fisik. Mungkin saja orang dengan depresi tidak ada nafsu makan, jadi sulit makan atau makan berlebih,” sambungnya

Ilustrasi

 Menurut dokter Chrisna, adanya persoalan mental atau tidak itu tergantung dari seseorang menyikapi pandemi ini. Ada yang mentalnya lemah.  Karena terlalu lama   lama terkurung di rumah sehingga tidak dapat beraktivitas, ada juga yang mentalnya kuat menghadapi hantaman pandemi.

“Apakah jadi berbahaya atau tidak,  ya balik lagi ke pada diri orang itu sendiri. Apakah ini, jadi salah satu bentuk mekanisme penyesuaian dirinya karena harus di rumah saja terus juga harus dilihat apakah orang tersebut masih cukup merasa nyaman dengan kondisi saat ini. Kalau tadi sampai menyebabkan orang tersebut tidak nyaman dan juga menyebabkan gangguan dalam aktivitas sehari-hari ya maka itu kita perlu lebih waspada ya,” tutur dokter Chrisna.

Leave a Reply

Your email address will not be published. Required fields are marked *