Target Pertumbuhan Ekonomi 2022 di 34 Provinsi
Pemerintah Presiden Jokowi menetapkan perkiraan pertumbuhan ekonomi untuk di 34 provinsi Indonesia pada 2022. Setiap provinsi dipatok berbeda-beda, mulai dari yang terkecil 2,7 % sampai dengan pertumbuhan tertinggi di 9,4 %.
Untuk mendukung pertumbuhan Ekonomi di setiap provinsi, pemerintah juga harus melakukan perubahan konsentrasi pembangunan yang semula Jawa sentris menjadi Indonesia sentris. Sehingga distribusi pertumbuhan ekonomi tidak terkonsentrasi di satu daerah saja tetapi dapat adil dan merata ke seluruh wilayah Indonesia.
Berikut Perkiraan Target Pertumbuhan Ekonomi di 34 provinsi Indonesia pada 2022:
1. Aceh 3,7 % – 4,6 %
2. Sumatera Utara 5,2 % – 5,8 %
3. Riau 2,3 % – 2,7 %
4. Kepulauan Riau 4,8 % – 5,5 %
5. Sumatera Barat 5,4 % – 5,7 %
6. Jambi 4,3 % – 4,9 %
7. Kep. Bangka Belitung 4,5 % – 5,4 %
8. Bengkulu 4,9 % – 5,2 %
9. Sumatera Selatan 5,8 % – 6,5 %
10. Lampung 4,8 % – 5,3 %
11. DKI Jakarta 5,8 % – 6,2 %
12. Banten 5,0 % – 5,9 %
13. Jawa Barat 4,7 % – 5,7 %
14. Jawa Tengah 5,0 % – 5,8 %
15. Jawa Timur 5,2 % – 5,7 %
16. Bali 5,5 % – 6,3 %
17. D.I. Yogyakarta 5,0 % – 5,7 %
18. NTB 4,2 % – 5,3 %
19. NTT 6,3 % – 6,9 %
20. Kalimantan Utara 5,4 % – 6,3 %
21. Kalimantan Barat 5,3 % – 6,0 %
22. Kalimantan Timur 5,3 % – 5,7 %
23. Kalimantan Tengah 5,6 % – 6,5 %
24. Kalimantan Selatan 4,5 % – 5,0 %
25. Sulawesi Barat 5,5 % – 6,0 %
26. Sulawesi Selatan 6,4 % – 7,6 %
27. Sulawesi Tenggara 6,3 % – 7,0 %
28. Sulawesi Tengah 8,8 % – 9,4 %
29. Gorontalo 6,1 % – 7,1 %
30. Sulawesi Utara 4,5 % – 5,5 %
31. Maluku Utara7,5 % – 8,5 %
32. Maluku 5,8 % – 6,2 %
33. Papua Barat 5,6 % – 6,3 %
34. Papua 6,0 % – 6,5 %
BI TETAP DUKUNG PERTUMBUHAN EKONOMI
Gubernur Bank Indonesia Perry Warjiyo memastikan arah kebijakan moneter yang akan diambil bank sentral pada tahun depan menjaga stabilitas, namun akan disertai sejumlah kebijakan yang mendorong pertumbuhan ekonomi.
Pertama, kebijakan makroprudensial Bank Indonesia juga diarahkan untuk mendorong pertumbuhan ekonomi. Kemudian yang kedua, digitalisasi sistem pembayaran akan terus dilakukan Bank Indonesia. Ketiga, pendalaman pasar keuangan untuk pembiayaan-pembiayaan ekonomi. Keempat untuk mendukung Usaha Mikro Kecil dan Menengah (UMKM) dan kelima mendorong ekonomi keuangan syariah. Jadi, untuk tahun ini semua instrumen untuk pro growth, dan tahun depan instrumen moneter lebih pro growth,” kata Perry Warjiyo.
Selain stabilitas nilai tukar rupiah, kebijakan moneter Bank Indonesia tahun 2022 juga mulai secara bertahap mengurangi sedikit-sedikit likuiditas namun tetap melimpah dan dilakukan secara hati-hati. Perry mengatakan, langkah ini dilakukan untuk mengantisipasi adanya kemungkinan bank sentral AS atau The Fed mulai menempuh kebijakan pengurangan likuiditas atau tapering off di tahun depan.
“Kami yang merumuskan kebijakan makro harus pandai-pandai menjaga stabilitas ini dari tapering, tapi tetap berikan dukungan terhadap pertumbuhan ekonomi. Bagi BI buat suatu bauran pro stability dan pro growth,” kata Ketua Umum Pengurus Pusat Ikatan Sarjana Ekonomi Indonesia (ISEI) ini.
Lebih lanjut Perry memastikan likuiditas di perbankan hingga saat ini masih melimpah. Pasalnya, hingga 19 Juli 2021 Bank Indonesia sudah melakukan suntikan likuiditas sebesar Rp 101,10 triliun. Kemudian, Bank Indonesia juga telah membeli SBN di pasar perdana mencapai Rp 124,13 triliun, terdiri atas Rp 48,67 triliun melalui mekanisme lelang utama dan Rp 75,46 triliun melalui mekanisme greenshoe option (GSO).
“Likuiditas perbankan tetap melimpah, karena Bank Indonesia lakukan quantitative easing sangat besar. Suku bunga sudah turun meski harus dorong lebih turun lagi dan juga Otoritas Jasa Keuangan (OJK) lakukan relaksasi pengaturan klasifikasi kredit atau restrukturisasi kredit dengan POJK 48/ POJK.03/2020,” kata Perry.
Tidak hanya likuiditas yang longgar untuk mendukung perekonomian, juga tercermin pada uang beredar dalam arti sempit M1 dan luas M2 yang tumbuh masing-masing 17% yoy dan 11,4% yoy pada Juni 2021.
“Kondisi likuiditas perbankan lebih dari cukup tercermin pada rasio alat likuid terhadap dana pihak ketiga (AL/DPK) yang tinggi yakni 32,95% dan pertumbuhan DPK sebesar 11,28% yoy,” tuturnya.
Kecepatan Vaksinasi dan Stimulus
Pada kesempatan yang sama, Perry mengungkapkan pemulihan ekonomi negara maju dan negara berkembang akan berbeda di tahun ini disebabkan isu kecepatan vaksinasi dan besarnya stimulus fiskal dan moneter yang digelontorkan di negara maju, sehingga mendorong pemulihan ekonomi berlangsung lebih cepat.
“Negara yang vaksinasinya cepat, penurunan kasus Covid-19 juga lebih cepat, begitu pula negara dengan (gelontoran) stimulus fiskal dan moneter yang lebih besar maka recovery juga lebih cepat,” tutur Perry.
Dia menyebut ekonomi Amerika Serikat dan Tiongkok diproyeksikan akan lebih cepat pulih, didorong oleh permintaan domestiknya yang meningkat. Hal ini juga tercermin dari hasil proyeksi yang dilakukan Bank Indonesia bahwa pertumbuhan ekonomi Amerika Serikat tahun ini mencapai 6,8% dan tahun depan 3,5%. Sementara itu, pertumbuhan ekonomi Tiongkok tahun ini akan tembus di 8,4% dan tahun depan turun menjadi 5,5%.
“Sehingga pertumbuhan ekonomi tahun ini lebih baik dari pertumbuhan ekonomi global 5,8 % dan tahun depan 4,3 %. Tetapi terjadi divergensi pertumbuhan ekonomi antarnegara, semakin cepat vaksinasi semakin besar stimulus lebih cepat recover. Kemudian, bagi negara yang baru lakukan vaksinasi, maka pemulihan ekonomi juga baru akan terjadi di kemudian, itu beberapa aspek di sejumlah negara berkembang,” tegasnya.
Karena itu, untuk mengejar ketertinggalan dengan cara mempercepat vaksinasi agar proses ekonomi domestik segera pulih. Pasalnya, pemulihan ekonomi global akan berdampak positif bagi Indonesia, khususnya sisi ekspor, karena meningkatnya permintaan komoditas dari negara- negara maju.
Secara keseluruhan, Bank Indonesia memproyeksikan kinerja ekonomi Indonesia tahun ini hanya mencapai kisaran 3,5- 4,3%, atau lebih rendah dari proyeksi sebelumnya. Penurunan proyeksi ini juga tidak lepas dari pengaruh Pemberlakuan Pembatasan Kegiatan Masyarakat (PPKM) di Jawa dan Bali.
“Setelah kami melihat suatu kalibrasi dari Pemberlakuan Pembatasan Kegiatan Masyarakat (PPKM) Jawa dan Bali dan dengan melihat implikasi berbagai perkembangan global, semula bisa tumbuh 4,1-5,1% atau 4,6%. Namun dengan kondisi sekarang pertumbuhan ekonomi jadi 3,5% hingga 4,3%% dengan titik tengah 3,9%,” tuturnya.
Untuk tahun depan, kata Perry, pertumbuhan ekonomi domestik akan mampu mencapai 4,6% hingga 5,4% didukung oleh kenaikan ekspor, karena perbaikan ekonomi global, kenaikan konsumsi, investasi sejalan dengan kemajuan vaksinasi dan implementasi Undang-Undang Cipta Kerja.
Proyeksi CAD
Bank Indonesia memperkirakan defisit transaksi berjalan atau current account deficit (CAD) pada 2021 akan mencapai kisaran -1,4% hingga -0,6%.
Perry menyampaikan bahwa rendahnya defisit transaksi berjalan di akhir tahun tidak terlepas dari belum pulihnya kinerja impor sejalan dengan permintaan domestik yang belum menguat.
Sedangkan kinerja ekspor mulai terdongkrak didorong oleh pemulihan ekonomi di negara maju yang mendukung peningkatan permintaan eskpor dari Indonesia. “current account deficit (CAD) rendah karena ekspor bagus, sementara impor belum meningkat karena permintaan domestik belum kuat,” katanya.
Adapun berdasarkan data Badan Pusat Statistik (BPS), neraca perdagangan Indonesia pada semester I-2021 mencatatkan surplus US$ 11,86 miliar, jauh lebih tinggi dari capaian pada semester I-2020 sebesar US$ 5,42 miliar.
Peningkatan surplus disebabkan oleh pertumbuhan kinerja ekspor yang lebih tinggi dari impor. Nilai ekspor pada semester I-2021 tercatat mencapai US$ 102,87 miliar, sementara impor mencapai US$ 91,01 miliar.
Lebih lanjut, Perry mengatakan bahwa saat ini harga komoditas dunia tengah mengalami peningkatan. Karena itu, momentum kenaikan harga komoditas harus dimanfaatkan untuk mendorong ekspor.
“Indeks harga komoditas ekspor naiknya tinggi tahun ini, naik 35,3% berarti memang berbagai harga komoditas naik. Apa itu kelapa sawit maupun tembaga, besi, dan baja sehingga itu kenapa pertumbuhan ekonomi di luar jawa seperti di wilayah Sulawesi, Maluku, Papua, sudah di atas 5% atau 6%,” tuturnya.
Kendati begitu, dia menjelaskan bahwa untuk saat ini yang perlu menjadi perhatian yakni mendorong penyaluran kredit atau pembiayaan ke sektor riil tidak hanya dari sisi suplai melainkan juga sisi demand.
Pasalnya, saat ini kondisi likuiditas di perbankan melimpah karena Bank Indonesia melakukan quantitative easing dalam jumlah yang besar per 19 Juli 2021 mencapai Rp 101,10 triliun. Kemudian, dukungan dari suku bunga acuan yang tetap berada pada level yang rendah 3,5%.
“Tahun lalu (pertumbuhan kredit) mencapai -2,4%, tahun ini bisa didorong pada kisaran 4% hingga 6%, memang lebih rendah dari perkiraan sebelumnya 6% hingga 8%. Komite Stabilitas Sistem Keuangan (KSSK) sudah lakukan koordinasi dan sudah ada paket kebijakan KSSK untuk meng-address sisi suplai dan perbankan,” jelasnya.
INFLASI SAMPAI 2024
Sementara itu inflasi hingga akhir tahun 2021 berada dalam kisaran sasaran target 3,0% pulus minus 1%. Bank Indonesia tetap berkomitmen menjaga stabilitas harga dan memperkuat koordinasi kebijakan dengan pemerintah, baik di tingkat pusat maupun daerah melalui Tim Pengendali Inflasi, termasuk menjaga pasokan selama implementasi kebijakan pembatasan mobilitas.
Pemerintah Indonesia menargetkan inflasi bakal melandai selama periode tahun 2022 sampai tahun 2024, yaitu dari 3% menjadi 2,5%. Hal ini tertuang dalam Peraturan Menteri Keuangan (PMK) Nomor 101/PMK.010/2021 tentang Sasaran Inflasi 2022, 2023 dan 2024. Pasal 2 ayat 3, merinci sasaran inflasi 2022 adalah 3%. Kemudian, 2023 tetap 3% dan 2024 turun menjadi 2,5%. Target ditetapkan dengan deviasi 1%.
Data dirangkum dan diolah dari berbagai sumber dengan oleh” Dr Andy Kurniawan Bong, SE, MBA.(Dosen senior