Berpotensi Ada Gangguan Kamtibmas, Bawaslu Usul Pilkada 2024 Ditunda
Badan Pengawas Pemilihan Umum (Bawaslu) mengusulkan agar pelaksanaan Pilkada 2024 ditunda. Usulan tersebut disampaikan Ketua Bawaslu Rahmat Bagja dalam Rapat Koordinasi Kementerian dan Lembaga Negara yang diselenggarakan Kantor Staf Presiden (KSP)dengan tema Potensi dan Situasi Mutakhir Kerawanan Pemilu serta Strategi Nasional Penanggulangannya di Jakarta, beberapa waktu lalu.
Rahmat mengkhawatirkan akan terjadi gesekan saat Pemilu dan Pilkada digelardi tahun yang sama, belum lagi Pilkada 2024 digelar serentak pada 27 November 2024, sehingga Polri sulit untuk melakukan pengamanan karena tidak sebanding dengan jumlah personel yang terbatas.
“Kami khawatir sebenarnya Pemilihan 2024 ini karena pemungutan suara pada November 2024 yang mana Oktober baru pelantikan presiden baru tentu dengan menteri dan pejabat yang mungkin berganti. Karena itu, kami mengusulkan sebaiknya membahas opsi penundaan pemilihan (pilkada) karena ini pertama kali serentak. Kalau sebelumnya, misalnya pilkada di Makassar ada gangguan keamanan, maka bisa ada pengerahan dari polres disekitarnya atau polisi dari provinsi lain. Kalau Pilkada 2024 tentu sulit karena setiap daerah siaga yang menggelar pemilihan serupa,” kata Rahmat.
Rahmat menjelaskan ada tiga aspek yang dapat memicu pertentangan saat Pemilu dan Pilkada diselenggarakan dalam waktu yang sama. Ketiga aspek tersebut yakni dari penyelenggara, peserta pemilu dan pemilih.
Untuk aspek penyelenggara, Bragja mengungkapkan aspek ini meliputi pemutakhiran data pemilih; pengadaan dan distribusi logistik pemilu seperti surat suara; atau beban kerja penyelenggara pemilu yang terlalu tinggi. Hal lainnya, lanjutnya, belum optimalnya sinergi antara Bawaslu dan KPU terkait Peraturan KPU (PKPU) dan Peraturan Bawaslu (Perbawaslu).
“Data pemilih ini banyak sekali masalah, sampai-sampai satu keluarga beda TPS (tempat pemungutan suara) saja malah sampai marah-marah. Begitu juga surat suara, itu banyak permasalahannya misalnya kekurangan surat suara dari TPS A ke TPS B itu juga bisa menimbulkan masalah,” ujarnya.
Rahmat melanjutkan, permasalahan kedua yang berasal dari aspek peserta pemilu seperti masih maraknya politik uang. “Kemudian belum optimalnya tranparansi pelaporan dana kampanye, netralitas ASN (aparatur sipil negara), dan penggunaan APK (alat peraga kampanye) yang tidak tertib,” sebutnya.
Lalu potensi permasalahan ketiga dari aspek pemilih. Bagja merasakan pengalaman pemilu maupun pemilihan lalu masih banyak menimbulkan berbagai masalah. “Seperti kesulitan pemilih dalam menggunakan hak pilih, ancaman dan gangguan terhadap kebebasan pemilih, dan penyebaran berita hoaks dan ‘hate speech’. Ini nanti kalau sudah penetapan calon presiden dan wakil presiden kemungkinan hoaks dan ‘hate speech’ akan ramai kembali. Kita perlu melakukan antisipasi,” jelasnya.
Dia menegaskan, dalam mengidentifikasi permasalahan, Bawaslu pun melakukan upaya pencegahan melalui berbagai bentuk dan jenis strategi yang membutuhkan kerja sama lintas instansi, tokoh masyarakat, tokoh agama, dan masyarakat luas. “Kami melakukan identifikasi kerawanan seperti membuat indeks kerawanan pemilu (IKP), melakukan program pendidikan politik dan memperluas pengawasan partisipatif,” katanya.