Kampung Bena, Kemegahan Warisan Budaya Zaman Batu di Flores
Sebuah kampung tradisional bernama Bena telah menjadi salah satu tujuan wajib saat Anda menyambangi Pulau Flores. Di sini waktu seakan terhenti dimana kehidupan dari masa zaman batu masih dapat Anda nikmati dan resapi bersama keramahan penduduknya yang mengesankan dengan senyum di mulut dan gigi yang berwarna merah karena mengunyah sirih pinang. Nikmatilah kemewahan dan kemegahan salah satu warisan budaya Nusantara yang mengagumkan di Bena. Bertengger dengan berporoskan pada Gunung Inerie (2245 m dpl), Kampung Bena di Bajawa adalah salah satu dari desa tradisional Flores yang masih tersisa meninggalkan jejak-jejak budaya megalit yang mengagumkan. Desa ini lokasinya hanya 18 km dari kota Bajawa di Pulau Flores. Kota Bajawa yang terletak di cekungan seperti sebuah piring yang dipagari barisan pegunungan. Kota ini banyak dikunjungi wisatawan apalagi cuacanya cukup dingin, sejuk, dan berbukit-bukit, mirip seperti di Kaliurang, Yogyakarta.
Kehidupan di Kampung Bena dipertahankan bersama budaya zaman batu yang tidak banyak berubah sejak 1.200 tahun yang lalu. Di sini ada 9 suku yang menghuni 45 unit rumah, yaitu: suku Dizi, suku Dizi Azi, suku Wahto, suku Deru Lalulewa, suku Deru Solamae, suku Ngada, suku Khopa, dan suku Ago. Pembeda antara satu suku dengan suku lainnya adalah adanya tingkatan sebanyak 9 buah. Setiap satu suku berada dalam satu tingkat ketinggian. Rumah suku Bena sendiri berada di tengah-tengah. Karena suku Bena dianggap suku yang paling tua dan pendiri kampung maka karena itu pula dinamai dengan nama Bena. Umumnya warga suku-suku di Bena bermata pencaharian sebagai peladang dengan kebun-kebun menghijau tumbuh di sisi-sisi ngarai yang mengelilingi kampung. Untuk berkomunikasi sehari-hari mereka menggunakan bahasa Nga’dha. Hampir seluruh warga Kampung Bena memeluk agama Katolik namun tetap menjalakan kepercayaan leluhur termasuk adat dan tradisinya.
Saat ini Kampung Bena dihuni 326 jiwa dalam 120 keluarga. Akan tetapi, ikatan adat dari kampung ini lebih luas lagi karena ada ribuan jiwa lainnya yang merupakan keturunan warga Bena bermukim di luar kampung adat. Warga kampung Bena menganut sistem kekerabatan dengan mengikuti garis keturunan pihak ibu. Lelaki Bena yang menikah dengan wanita suku lain maka akan menjadi bagian dari klan istrinya. Khusus ntuk wanita di Bena mereka wajib untuk memiliki keahlian menenun dengan bermotifkan kuda dan gajah sebagai ciri khasnya.
Bagi warga Bena, mereka percaya bahwa di puncak Gunung Inerie bersemayam Dewa Zeta yang melindungi mereka. Gunung Inerie setinggi 2.245 m dpl adalah gunung dengan hutan lebat di sebelah baratnya saja. Sementara itu, di lereng bagian selatannya berupa perkebunan. Bagi warga Bena Gunung Inerie dianggap sebagai hak mama (Ibu) dan Gunung Surulaki dianggap sebagai hak bapa (Ayah). Petualang dan pendaki berdatangan ke Gunung Inerie saat musim kemarau (antara Juni hingga Agustus). Dari atas puncaknya terlihat pemandangan indah dari segala arah termasuk kota Bajawa di sebelah barat laut. Di bagian selatan terlihat birunya Laut Sawu yang menempel rapat di kaki gunung ini. Tahun 1882 dan 1970 Gunung Inerie pernah meletus dan kini meninggalkan jejak keindahan dan kemegahannya dengan bumbu tanah subur di sekilingnya. Perhatikan bagaimana ukuran batang bambu yang tergolong sangat besar tumbuh di sekitarnya gunung ini. (arf)