MATAKIN Peringati Hari Lahir Nabi Kongzi ke-2576 dengan Dialog Islam-Khonghucu

0
IMG_5567 (1)

Memperingati kelahiran Nabi Kongzi ke-2576 bukan sekadar mengenang sosok bijak dari Tiongkok kuno, tetapi juga menjadi momen spiritual untuk meneguhkan kembali nilai-nilai luhur dalam kehidupan modern. Dalam semangat ini, Majelis Tinggi Agama Khonghucu Indonesia (MATAKIN) menggelar Dialog Islam-Khonghucu V pada Jumat (17/10/2025) di Jakarta, mengangkat tema penting: “Membangun Keharmonisan Dunia Berpokok pada Keharmonisan Keluarga.”

Kegiatan ini dilangsungkan pada Jumat, 17 Oktober 2025, bertempat di Auditorium HM Rasjidi Kementerian Agama RI, Jalan MH Thamrin, Jakarta Pusat. Acara resmi dibuka oleh Menteri Agama Republik Indonesia, Prof. Dr. KH. Nasaruddin Umar, yang juga memberikan pidato kunci (keynote speech) dalam forum tersebut.

Dalam sambutannya, Menteri Agama menekankan pentingnya keluarga sebagai unsur kunci dalam membangun peradaban yang damai dan berkelanjutan. Menurut beliau, mustahil membangun negara yang ideal tanpa dimulai dari keluarga yang harmonis.

“Acara ini sangat penting karena menyentuh akar dari berbagai persoalan, keluarga. Keluarga adalah unit terkecil namun paling esensial dalam masyarakat. Dari keluargalah lahir pribadi-pribadi yang akan membentuk arah bangsa,” tutur Nasaruddin.

Ia pun mengapresiasi langkah MATAKIN yang menggagas dialog lintas iman dengan tema yang relevan dan fundamental, yakni peran keluarga dalam membentuk masyarakat dunia yang harmonis.

Ketua Umum MATAKIN, Xs. Budi S. Tanuwibowo, menyampaikan bahwa tema ini dipilih karena melihat banyaknya gejolak sosial, ekonomi, bahkan politik yang akarnya dapat ditelusuri pada keretakan dan ketidakharmonisan dalam institusi keluarga.

“Keluarga adalah entitas sosial terkecil, namun pengaruhnya sangat besar. Ia merupakan tempat pertama dan utama dalam pembentukan moral, karakter, dan nilai-nilai kebajikan,” jelas Budi.

Dalam ajaran Khonghucu, terutama dalam kitab klasik Daxue (Ajaran Besar), pembangunan masyarakat yang baik dimulai dari upaya memperbaiki diri, membentuk keluarga yang harmonis, hingga kemudian memperbaiki tata kelola negara dan dunia.

“Jika setiap keluarga mampu menciptakan suasana yang damai dan harmonis—dalam istilah kami An He Jiating, maka dunia akan dihuni oleh manusia-manusia yang berakhlak mulia, optimis, dan memiliki daya juang tinggi,” tambah Budi.

Hal senada juga disampaikan Ketua Panitia yang juga menjabat sebagai Kepala Pusat Bimbingan dan Pendidikan Khonghucu, Nurudin, Ia menyampaikan bahwa kegiatan ini selaras dengan visi Undang-Undang tentang agama, yaitu memperkuat persaudaraan antarumat beragama.

“Dialog ini kami pilih sebagai format utama kegiatan, untuk membuka ruang pertukaran pemikiran antara agama Islam dan Khonghucu. Fokus kami adalah nilai-nilai kasih sayang, toleransi, dan harmoni keluarga sebagai fondasi masyarakat yang damai,” jelas Nurudin.

Ia menambahkan bahwa tujuan utama dialog ini adalah untuk membangun pemahaman yang lebih mendalam mengenai nilai-nilai Islam dan Khonghucu demi kemaslahatan umat manusia.

“Kami ingin memperkuat persaudaraan sesama anak bangsa dan membangun kesadaran akan pentingnya hidup berdampingan secara harmonis dalam bingkai kebhinekaan. Kerukunan tidak bisa dibangun dari jauh, tapi harus dimulai dari lingkup terdekat, yakni keluarga,” tegasnya.

Nurudin berharap agar hasil dialog ini tidak hanya menjadi wacana, tetapi benar-benar dapat diimplementasikan dalam kehidupan sehari-hari oleh semua peserta dan masyarakat luas.

“Semoga apa yang kita hasilkan dalam forum ini dapat dijalankan dengan sebaik-baiknya,” pungkasnya.

Dialog Islam-Khonghucu V ini menghadirkan berbagai narasumber dari latar belakang agama dan keilmuan yang berbeda. Dari kalangan tokoh Islam hadir diantaranya, Prof. Dr. Arif Satria, SP, M.Si. (Rektor IPB University), Prof. Dr. Siti Musdah Mulia (Cendekiawan Muslim dan aktivis perdamaian), Dr. Budhy Munawar Rachman (Intelektual Muslim progresif), Prof. Dr. M. Ikhsan Tanggok (Guru Besar UIN Syarif Hidayatullah), Dr. Samsul Hidayat, S.Ag (Dekan FEBI IAIN Pontianak), dan Ir. Agus Wicaksono (Cendekiawan Muslim independen).

Sementara dari kalangan Khonghucu, dialog ini menghadirkan para tokoh lokal dan internasional seperti, Ws. Gunadi, Ws. Andi Gunawan, Js. Kris Tan, Go Fee Mong, LDS, Mr. Kim Chae Young dari Korea Selatan, dan Mr. Ong Seng Huat dari Malaysia.

Para pembicara menyampaikan perspektif spiritual dan filosofis dari dua agama besar dalam melihat pentingnya keluarga sebagai medium utama untuk menanamkan nilai-nilai etika, perdamaian, kerja sama, dan tanggung jawab sosial.

Diskusi juga menyinggung bagaimana tantangan zaman modern seperti teknologi, globalisasi, dan perubahan nilai kerap mengganggu keharmonisan keluarga. Oleh karena itu, perlu ada komitmen lintas agama untuk terus menguatkan institusi keluarga melalui pendekatan spiritual dan budaya.

Dialog ini menjadi ruang saling belajar dan memperkuat nilai-nilai universal yang hidup dalam ajaran Islam dan Khonghucu. Dalam kedua tradisi, keluarga memiliki posisi sentral dalam membentuk masyarakat yang beradab.

Leave a Reply

Your email address will not be published. Required fields are marked *