Pemerintah Akan Evaluasi Lagi Pemberian Bebas Visa
Pemerintah perlu segera mengevaluasi kebijakan pemberian bebas visa bagi warga negara dari 169
negara. Kedatangan warga negara asing yang semakin banyak perlu diantisipasi dan dievaluasi supaya tidak
sampai mengancam keamanan dan kedaulatan negara.
Desakan evaluasi muncul karena beberapa masalah yang diperparah dengan penerapan kebijakan bebas
visa. Beberapa di antaranya, peningkatan pelanggaran izin tinggal yang dilakukan beberapa warga negara asing,
meningkatnya tenaga kerja WNA yang memanfaatkan bebas visa kunjungan lalu mempersulit perebutan
lapangan kerja di Indonesia, serta pintu masuk terhadap jaringan narkoba dan terorisme.
Menteri Hukum dan Hak Asasi Manusia Yasonna Laoly, pemerintah akan mengevaluasi kebijakan bebas
visa setelah diterapkan selama satu tahun. Sejauh ini, kebijakan pembebasan visa untuk 169 negara telah
berjalan selama enam bulan.
”Memang, pada waktunya itu perlu dievaluasi. Kalau misalnya ada negara yang wisatawannya tidak
signifikan dan lebih banyak membahayakan serta melanggar aturan imigrasi, itu akan dievaluasi,” kata Yasonna.
Dari data Direktorat Jenderal Imigrasi Kementerian Hukum dan HAM, 10 negara yang warga negaranya
paling banyak melanggar kebijakan bebas visa adalah Tiongkok, Afganistan, Bangladesh, Filipina, Irak,
Malaysia, Vietnam, Myanmar, India, dan Korea Selatan.
Menurut Yasonna, kriteria negara yang akan segera dievaluasi adalah negara yang warganya banyak
menyalahgunakan bebas visa kunjungan untuk tinggal dan bekerja di Indonesia. Kriteria lain adalah negara
penerima bebas visa yang jumlah wisatawannya ternyata tidak signifikan dan tidak menyumbang banyak devisa
bagi Indonesia.
Mengenai WNA dari Tiongkok yang menduduki peringkat pertama pelanggar imigrasi, Yasonna
mengatakan, pemerintah masih berhati-hati menyikapinya. Di satu sisi, pemerintah mengharapkan potensi
wisata dari Tiongkok, tetapi di sisi lain, banyak pelanggaran imigrasi yang muncul karena bebas visa untuk
Tiongkok.
”Jujur saja, kalau kita lihat dari tingkat pelanggaran, Tiongkok memang paling banyak. Namun, itu tidak
bisa dijadikan patokan juga karena angka wisatawan dari mereka memang paling banyak. Wajar jika lebih
banyak jumlahnya, lebih banyak persoalannya,” kata Yasonna