Tidak Ada Rekayasa Genetik Dalam Teknologi Wolbachia
Kementerian Kesehatan menerapkan inovasi teknologi wolbachia untuk menurunkan penyebaran Demam Berdarah Dengue (DBD) di Indonesia.
Efektivitas teknologi wolbachia telah diteliti sejak 2011 oleh World Mosquito Program (WMP) dan Universitas Gadjah Mada di Yogyakarta. Teknologi yang digunakan bukan kategori dari rekayasa genetika.
Wolbachia sendiri adalah bakteri yang hanya dapat hidup di dalam tubuh serangga, termasuk nyamuk. Wolbachia tidak dapat bertahan hidup di luar sel tubuh serangga dan tidak bisa mereplikasi diri tanpa bantuan serangga inangnya. Ini merupakan sifat alami dari bakteri wolbachia. Wolbachia sendiri telah ditemukan di dalam tubuh nyamuk aedes albopictus secara alami.
“Bakteri wolbachia maupun nyamuk sebagai inangnya bukanlah organisme hasil dari modifikasi genetik yang dilakukan di laboratorium. Secara materi genetik baik dari nyamuk maupun bakteri wolbachia yang digunakan, identik dengan organisme yang ditemukan di alam” ungkap Peneliti Universitas Gadjah Mada Prof. dr. Adi Utarini MSc, MPH, PhD
“Wolbachia secara alami terdapat pada lebih dari 50% serangga, dan mempunyai sifat sebagai simbion (tidak berdampak negatif) pada inangnya. Selain itu, analisis risiko yang telah dilakukan oleh 20 ilmuwan independen di Indonesia menyimpulkan bahwa risiko dampak buruk terhadap manusia atau lingkungan dapat diabaikan” lanjut prof Uut
Di Indonesia sendiri, teknologi wolbachia yang digunakan, diimplementasikan dengan metode “penggantian”, dimana baik nyamuk jantan dan nyamuk betina wolbachia dilepaskan ke populasi alami. Tujuannya agar nyamuk betina kawin dengan nyamuk setempat dan menghasilkan anak-anak nyamuk yang mengandung wolbachia. Pada akhirnya, hampir seluruh nyamuk di populasi alami akan memiliki wolbachia.
Wolbachia berperan dalam memblok replikasi virus dengue di dalam tubuh nyamuk. Akibatnya nyamuk yang mengandung wolbachia, tidak mampu lagi untuk menularkan virus dengue ketika nyamuk tersebut menghisap darah orang yang terinfeksi virus dengue. Mengingat bahwa wolbachia terdapat dalam telur nyamuk, maka bakteri ini akan diturunkan dari satu generasi nyamuk ke generasi berikutnya. Akibatnya, dampak perlindungan wolbachia terhadap penularan dengue bersifat berkelanjutan (sustainable).
Pendekatan wolbachia telah terbukti mengurangi secara signifikan kejadian penyakit demam berdarah dan kebutuhan rawat inap bagi penderita penyakit tersebut. Penurunan ini tentu saja akan berdampak pada penghematan biaya yang signifikan dalam pengendalian dengue bagi negara yang menerapkannya, lanjut Prof Uut.
“Pendekatan ini sangat efektif dalam pengendalian penyakit yang ditularkan oleh nyamuk di wilayah perkotaan besar yang berpenduduk padat dan dengan tingkat insidensi dengue yang tinggi,” lanjut Prof Uut.
Direktur Pusat Kedokteran Tropis Fakultas Kedokteran, Kesehatan Masyarakat dan Keperawatan (FKKMK) Universitas Gadjah Mada, dr. Riris Andono Ahmad MPH, Ph.D menambahkan, uji coba nyamuk ber wolbachia yang sebelumnya dilakukan di Yogyakarta pada tahun 2022 terbukti efektif.
“Hasilnya, di lokasi yang telah disebar wolbachia terbukti mampu menekan kasus demam berdarah hingga 77%, disamping menurunkan kebutuhan rawat inap pasien dengue di rumah sakit sebesar 86%.” jelas dr. Riris.
“Angka kejadian DBD di Indonesia masih tinggi dengan angka kematian yang tinggi terutama pada kelompok anak-anak, selain itu masih banyak daerah yang melaporkan kejadian luar biasa akibat DBD. Ini akan menyelamatkan anak anak kita ke depannya” ujar Direktur Pencegahan dan Pengendalian Penyakit Menular (P2PM), dr Imran Pambudi.
Efektivitas pemanfaatan teknologi wolbachia untuk menurunkan kejadian demam berdarah juga sudah dibuktikan di 13 negara lain, yaitu di Australia, Brazil, Colombia, El Salvador, Sri Lanka, Honduras, Laos, Vietnam, Kiribati, Fiji, Vanuatu, New Caledonia, dan Meksiko, lanjutnya.
Di Singapura teknologi Wolbachia diterapkan dengan menggunakan metode suppression atau penurunan jumlah populasi nyamuk. Strategi ini diimplementasikan dengan melepaskan nyamuk jantan saja. Perkawinan nyamuk jantan dengan nyamuk betina di populasi alami akan menghasilkan telur yang tidak dapat menetas.
Sehingga populasi nyamuk akan berkurang. Akan tetapi nyamuk betina yang masih ada di populasi alami akan tetap mempunyai kemampuan untuk menularkan virus dengue. Disamping itu, metode supresi mensyaratkan pelepasan nyamuk jantan secara terus menerus, agar populasi nyamuk dapat selalu terkontrol. Hal ini memerlukan sumber daya yang sangat besar dengan dampak yang bersifat sementara. (Sumber Kemenkes)